Rabu, 30 Januari 2013

Mobil Listrik Harus Masuk Kurikulum Pendidikan

SEMARANG, KOMPAS.com - Pakar automotif Universitas Negeri Semarang (Unnes) Wirawan Sumbodo menilai pemerintah perlu memasukkan pembelajaran mobil listrik dalam kurikulum pendidikan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi.

"Untuk mendukung proyek mobil listrik secara nasional, saya rasa pembelajaran tentang mobil listrik perlu disiapkan mulai dari tingkat sekolah menengah kejuruan (SMK) maupun perguruan tinggi," kata Wirawan, di Semarang, Rabu (30/1/2013).

Menurut mantan Ketua Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Unnes itu, selama ini pembelajaran teknologi mobil listrik memang sudah ada di beberapa program keahlian tertentu di SMK, seperti jurusan elektronika dan mekatronika.

Akan tetapi, kata dia, karena masih menjadi bagian pembelajaran bidang keahlian tertentu di SMK, seperti elektronika dan mekatronika, materi pembelajaran tentang teknologi mobil listrik yang diberikan kepada siswa masih terbatas.
"Kalau pemerintah serius mengembangkan mobil listrik sebagai proyek mobil nasional seharusnya digarap serius mulai dari pendidikannya. Perlu ada jurusan khusus mobil listrik, baik di SMK maupun perguruan tinggi," katanya.

Tenaga pengajar, kata dia, bukan menjadi kendala berarti jika pemerintah serius, sebab pembukaan jurusan mobil listrik tidak mengharuskan semua tenaga pengajarnya diambilkan dari tenaga asing dari negara-negara maju.

"Tidak perlu semua tenaga pengajarnya diimpor dari luar. Guru dan dosen kita bisa dikirim ke luar negeri, ke negara yang sudah maju teknologi mobil listriknya. Setelah itu, mereka mengajarkannya di Indonesia," katanya.

Ia menjelaskan kendala yang dihadapi dalam pengembangan mobil listrik selama ini terletak pada komponen baterai atau aki yang masih mengimpor, sebab Indonesia belum menguasai teknologi baterai yang menjadi komponen utamanya.

Namun, kata Wirawan yang pernah menjadi Penanggung Jawab Pusat Desain dan Rekayasa Kendaraan Mikro Unnes itu, semua bisa diatasi dengan keseriusan pemerintah untuk mau menyokong proyek mobil listrik dengan anggaran dana.

"Tidak perlu khawatir, Indonesia punya banyak orang ’pinter’. Dulu, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) kan begitu, Indonesia mengirim orang-orangnya belajar ke luar negeri. Buktinya, bisa membuat pesawat," katanya.

Terlebih lagi, kata dia, teknologi mobil listrik tidak serumit teknologi pesawat terbang sehingga menjadi potensi besar Indonesia untuk mengembangkannya secara serius dan didukung oleh seluruh pihak, terutama pemerintah.

"Saat ini, sudah beberapa pihak mengembangkan mobil listrik, seperti Pak Dahlan Iskan (Menteri BUMN), dan banyak lagi. Peluang ini harus ditangkap pemerintah, sebab tidak mungkin berhasil jika jalan sendiri-sendiri," katanya.

Selain itu, kata dia, pemerintah harus mau menggandeng negara-negara lain yang sudah berkembang dan maju teknologi mobil listriknya, seperti Amerika Serikat dan Jerman untuk bekerja sama menggarap mobil listrik Indonesia.

"Tidak ada salahnya belajar dari negara lain untuk proyek mobil listrik dan pemerintah tidak perlu ragu-ragu. Ini merupakan potensi besar yang harus dikembangkan karena dampak positifnya juga besar," katanya.

Pengembangan mobil listrik, kata Wirawan, bisa menekan polusi udara, menghemat subsidi yang selama ini diberikan untuk bahan bakar minyak (BBM), dan membuka peluang industri baru yang bisa mengurangi angka pengangguran.

Sumber :
 
Editor :
Benny N Joewono

Standar Pendidikan Nasional Sudah Baik, Kenapa Harus Ada RSBI?

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan menilai penerapan standar nasional dalam penyelenggaraan pendidikan sudah cukup baik untuk diterapkan tanpa harus menerapkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional(RSBI) yang justru menimbulkan diskriminasi.

Hal ini diungkapkan oleh Febri Hendri, Peneliti Monitoring Pelayanan Publik ICW terkait dengan putusan MK mengenai penyelenggaraan RSBI.

"Kalau menurut kami standar nasional sudah cukup baik dan bisa bersaing, kenapa kita tidak percaya diri, kalau kurang ya standarnya dinaikkan," ujar Febri Hendri,  di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (9/1/2013).
Menurut Febri, setelah putusan MK yang menyatakan RSBI bertentangan dengan konstitusi, penyeleggaraan sekolah akan kembali ke standar nasional yang sesuai dengan konstitusi.

"Pertimbangannya kan setelah RSBI artinya kembali ke standar nasional itu sesuai konstitusi, kalo RSBI tetap dijalankan melanggar konstitusdi," imbuhnya.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya membatalkan Pasal 50 ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Pasal yang mengatur Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di bawah sekolah-sekolah pemerintah itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Mengadili, menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK, Mahfud MD saat membacakan putusan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/1/2013).

SUMBER: TRIBUNNEWS .COM